Lebah memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan pangan dan kesehatan manusia. Peran
lebah sebagai penyerbuk mempunyai nilai penting yang berdampak langsung pada produksi pangan. Selasa (06/04/21)
Baru-baru ini di Eropa dan Amerika dikejutkan oleh adanya fenomena penurunan populasi lebah secara
besar-besaran, baik lebah yang diternakkan maupun lebah alami di alam. Kekhawatiran ini kemudian
menuai pertanyaan besar “apakah telah terjadi penurunan populasi lebah secara global? Jika ya apakah
penyebabnya dan apa dampaknya pada pertanian dan produksi pangan dunia?”. Lalu di Indonesia sendiri
bagaimana?
Fenomena menurunnya populasi lebah ini kemudian diteliti oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Studi tersebut mengungkap bahwa penurunan juga dialami oleh 57% dari responden. Mereka rata-rata
menyatakan bahwa dugaan penurunan ini adalah karena dampak dari perubahan iklim, ketersediaan
pakan dan pestisida yang digunakan di bentang alam. Temuan ini diperoleh melalui penelitian yang
dilakukan pada tahun 2020 lalu, oleh peneliti yang tergabung dalam Perhimpunan Entomologi Indonesia
(PEI) melalui metode survei mendalam kepada 272 peternak lebah di Indonesia.
Hasil Penelitian ini disampaikan dalam Lokakarya Bee and Polinator Awareness Day, dengan tema “Lebah,
Ketahanan Pangan, dan Kesehatan: Peluang dan Tantangan”, kepada perwakilan pemerintahan, peneliti,
akademisi, peternak lebah dan tokoh masyarakat sebagai rangkaian perayaan Hari Lebah Sedunia 2021.
“Fenomena penurunan populasi lebah secara global merupakan sebuah fakta. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai fenomena ini, apakah juga terjadi atau tidak, padahal mendeteksi kondisi populasi
lebah sangatlah penting agar kita dapat melakukan tindakan-tindakan penyelamatan, jika memang
terjadi. Studi ini adalah studi pertama yang dilakukan dalam usaha mencari data tersebut. Dari hasil ini
tampak bahwa penurunan populasi lebah dirasakan oleh sebagian besar peternak. Data awal ini perlu
ditindaklanjuti dengan riset yang lebih komprehensif mengenai kondisi lebah di Indonesia”.
Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. (Kepala Pusat CTSS, Guru Besar Departemen Proteksi Tanaman,
IPB University, Bogor, Indonesia)
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui survey dan wawancara yang melibatkan 272 peternak
lebah yang berasal dari pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Maluku.
Sebanyak 25 peneliti dari 19 cabang PEI di Indonesia telah melakukan serangkaian wawancara melalusebuah kuesioner secara langsung kepada 221 peternak lebah dan secara online kepada 51 peternak
lebah di 25 propinsi. Hasil wawancara memberikan info profil peternak lebah dan pengalaman mereka
dalam beternak lebah. Secara keseluruhan, peternak lebah didominasi oleh peternak berusia muda, yaitu
antara 30-39 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata sekolah menengah atas. Dari wawancara yang
dilakukan juga didapatkan temuan bahwa jumlah peternak lebah terus meningkat, dimana sebagian besar
dari mereka baru memelihara lebah dalam kurun 3-5 tahun terakhir. Hampir setengah dari total peternak
memperoleh koloni lebah pertama mereka dari alam liar.
Para peneliti mengumpulkan berbagai spesies lebah di setiap lokasi untuk diidentifikasi dan dianalisis
pollen yang terdapat dalam tubuh lebah. Hal ini dilakukan untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan yang
didatangi oleh lebah. Hal ini penting karena memberikan informasi sumber mengenai jenis tanaman yang
biasa dijadikan sebagai pakan oleh lebah. Dengan melakukan penelitian gabungan secara kualitatif dan
kuantitatif, laporan ini mengumpulkan gambaran akurat mengenai pemeliharaan lebah di daerah tropis.
Untuk pertama kalinya, kita bisa mendapatkan perspektif dunia dari pandangan seekor lebah dan
memusatkan perhatian kita dalam menemukan solusi atas masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Kelebihan serangga lebah hidupnya selalu bersih, tidak mau merusak alam bahkan memberikan
pertolongan terhadap makhluk lain. Madu yang dihasilkan untuk obat kesehatan manusia, sebagai
pemulia (breeder) menyelamatkan manusia untuk memperoleh varietas atau clon tanaman perkebunan
secara tidak langsung. Sarang lebah diekstrak (Propolis) juga sebagai bahan kosmetik, obat ketahanan
tubuh manusia dari infeksi bakteri virus, bakteri dan jamur hingga mampu mengendalikan tekanan darah
(hypertensi) serta menekan pertumbuhan kanker. Laporan menarik bahwa propolis sudah digunakan
sejak sebelum abad 300”
Dr. Ir. Antarjo Dikin M.Sc - Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
Hasil penelitian menggarisbawahi keanekaragaman populasi lebah yang popular diternakkan di
Indonesia, yaitu 22 spesies lebah, yang terdiri dari empat spesies lebah madu, seperti Apis cerana dan
Apis mellifera, dan 18 spesieslebah tak bersengat (dalam bahasa daerah sering disebut kelulut), termasuk
Heterotrigona itama, Tetragonula laeviceps, dan T. cf. biroi. Dalam skala nasional, keanekaragaman
tertinggi terdapat di Pulau Sumatera (tercatat 16 spesies), diikuti oleh Jawa dan Kalimantan, masingmasing 10 spesies. Lebah madu Asia (Apis cerana) merupakan spesies yang paling umum tercatat di
semua pulau, sementara beberapa spesies lainnya yang unik di pulau-pulau tertentu seperti Apis
nigrocincta di Sulawesi, Tetragonula melanocephala di Nusa Tenggara, Homotrigona fimbriata di
Kalimantan, dan Tetragonula minangkabau, Heterotrigona erythrogastra dan Lophotrigona canifrons,
yang hanya terdapat di Pulau Sumatera.
“Penelitian terbaru yang dilakukan PEI ini merupakan sumber daya yang berharga, berbagai macam
usaha perlu dilakukan untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap lebah di Indonesia, dengan
cara menggali pengetahuan dan informasi mengenai lebah, dan juga kolaborasi erat antar pihak terkait.
Workshop hari ini merupakan salah satu usaha dan upaya yang sangat baik dalam proses kolaborasi,
dalam rangka meningkatkan kesadaran akan keanekaragaman dan kondisi lebah di Indonesia – Ir.
Wiratno, MSc, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Studi ini mengidentifikasi tiga faktor utama penyebab kematian lebah di nusantara, yaitu iklim (31%),
sumber makanan (23%), dan pestisida (21%). Berbagai masalah lain juga dapat memengaruhi kuantitas
dan kualitas hasil madu seperti cuaca, sumber pakan, jenis lebah, dan perlakuan saat panen dan pasca panen.Penelitian yang didukung oleh PT. Syngenta Indonesia ini diharapkan dapat melengkapi informasi dalam
pelaksanaan program Pollinator Operation, yang diluncurkan oleh Syngenta Global dengan tujuan untuk
mengatasi permasalahan penurunan populasi polinator dan berupaya untuk mempromosikan praktikpraktik pertanian yang lebih berkelanjutan yang dapat meningkatkan hasil panen sekaligus dapat
memulihkan keseimbangan ekosistem.
Mentikberatkan pada proses kolaborasi dan kerjasama multipihak dari berbagai level yang di lakukan
dalam penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa permasalahan lebah dan upaya mencari solusi perlu
dilakukan secara bersama-sama. Hal ini juga yang mendasari lahirnya forum Indonesian Pollinator
Initiative (IPI) sebagai forum inisiatif pertama di Indonesia yang diharapkan dapat membuka dialog
seputar permasalahan lebah dan pollinator.
“Lokakarya ini menjadi tonggak dimulainya forum Indonesian Pollinator Initiative (IPI) secara resmi,
dan menjadi kesempatan besar untuk menyampaikan hasil survei PEI kepada para akademisi, pembuat
kebijakan, praktisi, pejabat pemerintah, petani, dan masyarakat sipil”
Prof Dr. Ir Dadang MSc – Ketua Umum Perhimpunan Entomologi Indonesia
Polinator termasuk lebah memiliki peranan yang penting dalam ekosistem dimana kesuksesan reproduksi
dari bebarapa spesies tumbuhan tergantung pada keberadaannya. Khalayak umum perlu diberikan
informasi dan pengetahuan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan pollinator, pada khususnya
lebah, sehingga ke depannya dapat memanfaatkan secara bijak dan berkelanjutan.
Dengan gambaran yang lebih jelas mengenai populasi lebah di Indonesia dan pemahaman yang lebih baik
terhadap cara para peternak lebah dalam membudidayakan lebah, laporan PEI dan lokakarya ini
menawarkan sumber daya informasi dan wadah yang tak ternilai untuk para penggiat konservasi,
komunitas, dan konsumen, serta untuk sektor pemerintahan dan pertanian.###Tentang Lokakarya Bee and Polinator Awareness Day
Lokakarya Bee and Polinator Awareness Day,
“Lebah, Ketahanan Pangan, dan Kesehatan: Peluang dan Tantangan”,
Dalam rangka perayaan Hari Lebah Sedunia (20 Mei) yang akan datang, sebuah lokakarya khusus diadakan
secara online pada 6 April 2021 yang bertajuk “Lebah, Ketahanan Pangan dan Kesehatan: Peluang dan
Tantangan”. Lokakarya yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), bekerja
sama dengan Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin/Center for Transdisciplinary and
Sustainability Science (CTSS), dengan dukungan dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
IPB University dan PT Syngenta Indonesia, dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan wadah
berbagi dan memperluas pengetahuan. Dengan mempertemukan para peneliti, pakar dan penggiat lebah
di Indonesia, diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan
keberlanjutan produktivitas lebah di Indonesia.
Lokakarya dimulai pada pukul 8.30 sampai dengan pukul 12.00 (WIB), dibuka oleh Ir. Wiratno, M.Sc
(Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK). Di sesi pagi hari, seminar dibuka
untuk masyarakat, para akademisi dan perwakilan pemerintahan dan diawali oleh Keynote speech dari
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dr Antarjo Dikin M.Sc, yang
memaparkan mengenai “Kebijakan Nasional dan Global tentang Pollinator”. Keynote Speech juga
disampaikan oleh Prof Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc, selaku Kepala Pusat CTSS dan Guru Besar
Departemen Proteksi Tanaman, IPB University, Bogor, yang menyampaikan mengenai “Hasil survey Populasi Lebah di seluruh Indonesia: Situasi saat ini dan masa depanPembicara lainnya dalam lokakarya ini yaitu Dr. Ir. Rika Raffiudin M.Si (Peneliti dan Dosen Departemen
Biologi, IPB University, Bogor, Indonesia) yang menyampaikan mengenai bagaimana “Memahami
kompleksitas dalam Ekologi dan Perilaku Lebah untuk Pengelolaan Lebah Berkelanjutan”; pembicara
selanjutnya yaitu Ramadhani Eka Putra, PhD (Peneliti dan Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung, Indonesia), memaparkan mengenai “Polinasi Lebah untuk Jasa Ekosistem di
Pertanian Berkelanjutan”; dan Cindy Lim perwakilan dari Syngenta Asia Pasific turut memaparkan
mengenai “Approach to Enhance Biodiversity Pollinator Health Program”.
Setelah seminar berakhir, sesi selanjutnya adalah Focused Group Discussion (FGD) yang mengundang
secara khusus para peternak lebah dan peneliti untuk berbagi ilmu tentang pengalaman dan tantangan
yang dihadapi dalam bertani dan beternak lebah, dan berupaya bersama untuk mencari solusinya. Sesi
FGD difasilitasi oleh Dr. Ramadhani Eka Putra, David Ardhian MSc; Prof Dr. Ir Dadang MSc; dan Dr. Tri
Atmowidi, MSi, dengan membahas tiga topik utama, yaitu Upaya Mitigasi Penurunan Populasi Lebah di
Indonesia, Pengelolaan Pestisida dan Kesehatan Ekosistem, dan Kolaborasi Identifikasi di antara Peneliti
dan Peternak Lebah.
Tentang PEI
Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) – didirikan pada tahun 1970 oleh anggota dalam Rapat Perlindungan
Tanaman yang diadakan di Salatiga, Jawa Tengah. Sampai saat ini, perhimpunan ini memiliki 28 cabang dalam skala
nasional dan mewakili sebanyak 1192 anggota, yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga Pulau Papua. Fokus PEI
adalah mengenai permasalahan entomologis yang berdampak dalam berbagai sektor, termasuk kesehatan,
pertanian, perdagangan, dan pendidikan. Perhimpunan ini memberikan arahan strategis dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan isu-isu yang terkait dengan pengendalian hama dan PHT, sekaligus melakukan berbagai penelitian,
seminar, simposium dan lokakarya yang bekerja sama dengan berbagai lembaga, menjalin kolaborasi serta
memperluas jangkauan badan-badan sektoral, skala internasional, dan bersama dengan masyarakat dan sektor swasta dalam mengatasi tantangan yang dihadapi.
Sumber Siaran Pers
PEI
Pewarta
Shem