Ada Power Risma di Balik Batalnya Pengumuman Calon PDIP?




ONESECONDNews.COM, DPP PDIP menunda pengumuman Cawali-Cawawali Kota Surabaya hari ini. Direktur Surabaya Survey Center (SSC) Mochtar W Oetomo menilai molornya rekomendasi salah satunya karena power Tri Rismaharini.

Saya rasa sangat wajar ada power dari Bu Risma. Karena kompetisi perebutan rekomendasi ini juga direbutkan oleh power politik lain di luar Bu Risma yang akhirnya DPP jadi harus mempertimbangkan dua kali untuk mengumumkan nama calon. Tapi enaknya saya sebut bukan power, tapi faksi politik," kata Mochtar saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (28/8/2020).

Mochtar menjelaskan 3 faksi atau power tersebut adalah faksi Risma, Faksi Bambang DH dan Faksi Whisnu Sakti Buana. Faksi Risma sudah terlihat mengarah ke tiga nama yakni Eri Cahyadi, Armuji hingga putra sulungnya sendiri, Fuad Bernadi.

"Karena kekuatan faksi Risma ini juga gak bisa disepelekan. Melihat kesuksesan Risma dalam memimpin Surabaya selama 2 periode kan jadi pertimbangan besar. Lalu ada faksi Bambang DH yang juga menjadi Wali Kota selama 2 periode dan faksi Whisnu Sakti Buana yang jadi Wakil Wali Kota Surabaya saat ini," terangnya.

PDIP harus mempertimbangkan itu. Karena itu kekuatan besar. Karena selama ini Surabaya menjadi wilayahnya PDIP. Saya rasa sangat wajar ada (power) Bu Risma, ada kompetisi faksi politik. Kelompok politik ini dengan strategi mereka demi mendapat respon DPP. Baik faksi Risma, Bambang DH, Whisnu, itu saya rasa sangat alamiah dan wajar. Kemudian apakah faksi ini diarahkan untuk kepentingan tertentu sesuai strategi masing-masing demi memenangkan DPP dan Bu Mega (Ketum PDIP)," lanjutnya.

Mochtar menilai hal itu merupakan tantangan untuk DPP bagaimana melihat power yang ada di Kota Surabaya. "Tentu ini bukan persoalan sederhana. Ini persoalan kompleks. Sehingga tidak mudah bagi DPP PDIP untuk mengambil keputusan begitu saja. Pasti ada banyak pertimbangan. Salah satunya faksi politik," imbuhnya.

Mochtar melihat tiga faksi politik besar di Surabaya menyebabkan DPP PDIP khususnya Ketua Umum Megawati Soekarnoputri harus cermat dalam mengambil keputusan.

Kita tahu seperti Bu Risma, wali kota dua periode yang dinilai sukses. Juga Bambang DH. Jangan lupa Mas Whisnu juga punya modal politik beliau selain wakil wali kota, juga pernah jadi Ketua DPC PDIP dan hasilnya baik. Beliau juga putra Pak Soetjipto, itu modal sosial politik yang sangat dipertimbangkan DPP," urainya.
Meski faksi menjadi pertimbangan kuat, hal lain yang tak kalah penting disebut Mochtar adalah faktor kemenangan. Bagaimana calon yang diusung PDIP harus bisa menang dan diterima dengan baik oleh warga Surabaya. Pertimbangan itu di dalamnya meliputi elektabilitas, kapabilitas, aksebilitas.

Tentu tidak mudah perhitungannya. Dalam Pilkada sebetulnya yang utama perhitungan elektabilitas. Bisa menang atau tidaknya paslon yang direkom itu. Tentunya PDIP tidak mau melepas dan kehilangan (kekuasaan) di Surabaya," ujarnya.

Mochtar juga menyebut molornya rekomendasi PDIP berdampak pada persiapan calon di Surabaya. Mulai koordinasi, konsolidasi hingga pematangan akar rumput, PDIP dianggap tertinggal start dari
kompetitornya dalam hal ini adalah pasangan lain, Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno.

Meski punya minus, molornya rekomendasi juga memiliki sisi keuntungan. Hal ini, dikatakan Mochtar dapat berimbas pada susahnya kompetitor meraba kekuatan lawan.

"Tapi itu juga menyimpan aspek strategi. Rekomendasi yang diundur ini membuat pihak kompetitor jadi kesulitan menyusun strategi. Karena lawan tidak jelas. Wong cawalinya saja tidak jelas apalagi cawawalinya. Jadinya sulit 
dikalkulasi dan dipetakan. Jadi sangat tergantung kompetitornya, bagaimana Pak Machfud ini apakah bisa mengambil momentum ini dengan lebih cermat dan cerdas," terangnya.

Mochtar menambahkan, tugas selanjutnya yang diemban PDIP bila rekom sudah turun ialah menyatukan berbagai faksi agar bisa terakomodir.

"Kalau berdasarkan pengalaman politik selama ini, ketika DPP PDIP sudah mengambil keputusan, akan dengan sendirinya mengkonsolidir faksi yang ada. Tentu saja memang tidak 100 persen terkonsolidir. Tapi 
sejauh ini kita pahami PDIP punya pengalaman cukup bagus, dan bisa mengkosolidir ketika Bu Ketum menentukan keputusannya," pungkasnya.(dtk)

أحدث أقدم