Ketua KPK Firli Bahuri didampingi Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean saat penandatangan kontrak kerja pejabat eselon I dan II . Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan |
Onesecondnews.COM,Dewas KPK menuai sorotan terkait adanya 'surat sakti' yang dikirimkan Firli Bahuri ke Polri. Dewas dinilai enggan berhadapan langsung dengan Ketua KPK itu.
'Surat sakti' ialah rekomendasi promosi bagi Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dan Direktur Penyelidikan Endar Priantoro. Diduga surat tersebut merupakan upaya Firli menyingkirkan kedua orang tersebut. Promosi diduga merupakan modus agar keduanya ditarik kembali ke instansi asal.
Dewas KPK mengaku tahu soal adanya surat tersebut. Namun, Dewas menyatakan tidak bisa mengintervensi surat tersebut.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai Dewas KPK selama ini lebih banyak bersifat pasif menunggu adanya laporan untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik. Padahal, menurut UU 19/2019 Dewas bisa melakukan fungsi pengawasan secara aktif, dengan inisiatif sendiri mengusut dugaan pelanggaran etik.
"Dewas sejak awal pembentukan tidak begitu berwibawa di hadapan pimpinan KPK. Bahkan atas pelanggaran etik yang sangat serius dan jelas seperti yang dilakukan LPS Dewas bersikap lunak. Apalagi ketika Dewas dihadapkan pada dugaan yang masih harus diusut seperti permintaan Firli kepada Kapolri untuk menarik deputi penindakan dan direktur penyelidikan," papar Zaenur kepada wartawan, Sabtu (18/2). Ia pun meragukan Dewas KPK akan bergerak mengusut soal 'surat sakti' tersebut.
"Penyebabnya ada dua. Satu, faktor Firli sebagai Ketua KPK yang sangat dominan bukan pihak yang mudah bagi Dewas. Kedua, tingkat kesulitan kasusnya juga relatif rumit, karena harus mengusut kode etik apa yang dilanggar oleh Firli dalam permintaan kepada Kapolri tersebut," ungkap Firli.
Menurut dia, pengusutan soal 'surat sakti' tersebut memang tidak mudah. Terlebih soal pembuktiannya.
"Tidak cukup sekadar mencocok-cocokkan peristiwa, misalnya berita perintah Firli menekan dua orang tersebut dalam suatu kasus yang tidak dipatuhi. Apakah kemudian Firli bermaksud mendepak mereka. Pembuktiannya tidak mudah," kata Zaenur.
"Pada intinya memang Dewas enggan berhadapan dengan Firli. Apalagi untuk perkara yang sulit seperti ini," imbuh dia.
Ia menekankan bahwa Dewas seharusnya profesional. Tidak pandang bulu terhadap siapa pun insan KPK yang diduga melakukan pelanggaran etik.
"Apakah Firli diduga melanggar etik? Iya, selama berhasil dikumpulkan bukti upaya pemulangan Depdak dan Dirdik karena menolak perintah Firli yang perintah tersebut tanpa dasar hukum," pungkas dia.
Sebelumnya, KPK juga sudah mengakui mengirimkan 'surat sakti' berupa usulan promosi bagi dua pejabatnya ke Polri. KPK mengatakan, usulan promosi ini bagian dari pengembangan karier setiap Pegawai Negeri yang Dipekerjakan (PNYD) di KPK, termasuk pegawai dari unsur Polri pada instansi asalnya.
Namun demikian, muncul dugaan bahwa 'surat sakti' tersebut muncul akibat perselisihan yang melibatkan pimpinan dengan sejumlah pejabat struktural di KPK. Musababnya, diduga terkait proses penanganan Formula E.
Informasi dihimpun, mayoritas pimpinan meminta penanganan yang masih penyelidikan itu untuk naik ke tahap penyidikan. Meski tanpa disertai penetapan tersangka. Selama ini, dimulainya penyidikan KPK selalu dibarengi dengan adanya tersangka.
Selain keduanya, 'promosi' juga ditunjukkan kepada Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto. Kini Fitroh sudah kembali ke Kejagung.
Ketiga orang yang tertera dalam 'surat sakti' tersebut menilai penanganan perkara Formula E belum layak naik penyelidikan. Sebab, belum memenuhi syarat ditemukannya cukup bukti adanya korupsi. Diduga atas dasar itu, ketiganya disingkirkan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membenarkan adanya surat tersebut. Sementara Kejaksaan Agung membantahnya.
Ali turut membantah informasi bahwa surat rekomendasi itu terkait dengan pengusutan perkara di KPK.
"Sebagai pemahaman bersama, penanganan perkara di KPK dilakukan secara tersistem dengan berpedoman pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan SOP," kata Ali.
"Sehingga proses dalam sistem ini tidak bisa dipengaruhi oleh subjektivitas masing-masing individu atau pegawai," sambungnya.
Ali menyebut, penanganan perkara dibahas secara transparan dan akuntabel oleh tim yang terlibat dan diputuskan bersama sesuai bukti-bukti yang berdasarkan atas asas hukum yang berlaku.
Senada, Firli Bahuri membantah lebih spesifik, soal Fitroh Rohcahyanto selaku Direktur Penuntutan KPK ke Kejaksaan karena perbedaan pendapat terkait Formula E. Menurut dia, Fitroh kembali atas keinginannya sendiri.
"Itu kata anda. Itu kan kata anda. Tidak ada [pertentangan soal Formula E]. Beliau karena kembali untuk kariernya," ujar Firli.
"Sebelas tahun di KPK kan. Masa mengabdi di KPK terus-terusan? Wajar kalau Beliau ingin kembali kan. Kan untuk masa depan Beliau juga. Oke? Tidak ada pertentangan, enggak ada," sambungnya.
https://m.kumparan.com/kumparannews/dewas-kpk-tak-berdaya-soal-surat-sakti-dinilai-enggan-berhadapan-dengan-firli-1zrF3mp0qbT