Ini Pernyataan Utuh Mendagri Tito Karnavian soal 'Teori Jenazah COVID Dibakar'

Ini Pernyataan Utuh Mendagri Tito Karnavian soal 'Teori Jenazah COVID Dibakar'


ONESECONDNews.COM, Jakarta - Mendagri Tito Karnavian menyebut secara teori, penanganan jenazah COVID-19yang terbaik adalah dengan cara dibakar. Dengan demikian, virus yang menginfeksi jenazah tersebut akan mati terbakar api.

Pernyataan itu disampaikan Tito dalam webinar nasional Asosiasi FKUB Nasional, Selasa (21/7/2020). Video webinar itu berdurasi 2.32.11 dan dibagikan oleh Kapuspen Kemendagri Bahtiar di grup wartawan Kemendagri pada Rabu (22/7).

"Yang terbaik, mohon maaf, saya muslim tapi ini teori, yang terbaik dibakar karena virusnya akan mati juga," kata Tito.
Namun, kata Tito, apabila pemakaman dilakukan sesuai tata cara keagamaan, penanganan jenazah harus tetap memperhatikan protokol kesehatan. Jenazah harus dibungkus rapat dan rapi.

"Kalau seandainya dimakamkan sesuai dengan cara-cara agama, beberapa agama tertentu, ya, dia harus dibungkus rapat, rapi, harus rapat, tidak boleh ada celah virusnya keluar, karena virusnya itu akan bertahan. Dan upayakan di kuburan di pemakaman yang tidak ada air mengalir, yang kering. Panas," ujar Tito.
Berikut pernyataan utuh Tito mengenai hal tersebut:

...nah, kemudian yang lain saya kira ada cara-cara memang penanganan untuk pembatasan atau mencegah penularan ini. Yang pertama, yang paling ekstrem, cepat, tapi kalau itu bisa dilalui, itu lebih mudah yaitu dengan melakukan karantina wilayah atau dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan lockdown. Tapi banyak yang mungkin belum memahami, seperti di Papua saya melihat konsep lockdown itu tidak diterapkan dengan pas, yang dimaksud dengan karantina wilayah atau lockdown itu. Satu orang dari luar nggak boleh masuk ke daerah itu. Dua, orang dari daerah itu nggak boleh keluar Ketiga, setiap orang di dalam area itu harus tinggal di rumah masing-masing. Tujuannya apa? Filosofinya adalah supaya setiap orang tidak bersentuhan sehingga tidak terjadi penularan. Yang tidak tertular tetap aman, yang tidak tertular dia mengalami pertarungan dalam tubuhnya, antibodinya kekebalan tubuhnya akan memproduksi antibodi spesifik mengenai COVID, dan terjadi pertempuran. Kalau COVID-nya mati maka antibodinya akan keluar dia akan menjadi kebal. Pada waktu hari tertentu dia akan menurun, karena lawannya nggak ada. Tapi memori antibodi itu sudah ada pada sistem kekebalan tubuh yang ada pada pankreas. Nah kalau nanti dia nanti apakah bisa tertular lagi positif? bisa. Ketemu yang positif dia kena lagi positif, tapi 24 jam karena sistem kekebalan tubuh sudah kenal, Oh ini COVID, saya sudah kenal nih. Musuh saya yang dulu. Udah bentuk pasukannya, antibodinya akan keluar 24 jam menghancurkan COVID-nya. Atau kalau kekebalan tubuhnya antibodinya kalah dia sakit, obati, bawa ke rumah sakit semaksimal mungkin, kasih vitamin c dll, berjemur.

 kena sinar matahari, makanan yang sehat, sambil olahraga-olahraga. Di Pulau Galang saya datang, saya kaget karena lebih kurang 150-an yang positif dirawat di Rumah Sakit Pulau Galang, itu semua sembuh, saya tanya kepada dokter kolonel angkatan darat kasih apa dok? nggak ada Pak, saya kasih vitamin C dosis tinggi, kasih vitamin E, saya kasih madu, setelah itu saya suruh olahraga mereka minimal 15 pagi, 15 menit siang karena terpapar sinar matahari. Sembuh? sembuh luar biasa. Nah kalau yang sakit dia dibawa ke rumah sakit tapi hati-hati betul.

Saya mohon maaf, Napak-bapak Pendeta, saya sudah sampaikan kepada pak wakil gubernur, tolonglah, Pak, sampaikan kepada pak gubernur juga, tolong juga di daerah-daerah lain juga, itu di Jayapura di Rumah Sakit Dok II, istri saya datang ke sana. Mau apa? Karena memberikan bantuan. Dia kaget karena rumah... penyakit yang pasien COVID-19 itu dimasukkan tempat yang sama dengan pasien-pasien lain.

 Padahal prinsipnya pasien-pasien yang ginjal, jantung, paru-paru, lever, yang punya penyakit-penyakit bawaan ini mereka tidak boleh tersentuh oleh COVID-19. Ini nggak, pasiennya yang dibawa, pasien COVID-19 yang ditaruh di situ. Bisa dibayangkan dokternya sama, perawatnya sama, tempat makannya sama, piringnya sama, ganti-ganti saja. Setelah itu perawatan medis, MRI-nya, teleskopnya sama itu dipegang yang positif nempel ke yang penyakitan yang lain, yang negatif. Bisa tertular, mereka akan bisa menjadi fatal sekali. 81 tenaga medis di Rumah Sakit Dok II terkena itu perawat dan dokternya, bagaimana kalau dengan pasien yang lain. Rumah sakit COVID-19 harus dipisah sendiri, saya sudah sampaikan ke Pak Wagub, rumah sakit sendiri. Saya mohon maaf bahwa saya akan ke Timika, saya akan bicara dengan Freeport. Tolong bantu buatkan rumah sakit khusus COVID di Papua, di Jayapura. Jadi semua orang yang kena COVID ke sana. Seperti kita Pulau Galang, Wisma Atlet.


Tidak ada yang dirujuknya ke RSCM, ntar gabung kepada yang punya penyakit bawaan, bahaya ini. Saya kita harapkan rumah sakit sendiri, jangan digabung dengan rumah sakit lain yang ada pasien-pasien lain yang mempunyai penyakit bawaan, justru berbahaya. Dikasih bahaya, ya bahaya.


Nah, kemudian saya mohon juga kepada, saya ulangi, kalau kita skenarionya lockdown tadi, berapa lama? Minimal 14 hari, makanya saya bilang cepat, 14 hari karena masa inkubasinya 14 hari. Hari pertama sampai hari keenam begitu dia masuk, tubuh kita mulai bereaksi, di hari ketujuh membentuk antibodi, hari ketujuh antibodinya mulai melakukan perlawanan.
Bisa kalah. Maka rapid test yang kita siapkan itu berisi bagian atau rekayasa dari COVID-19 untuk mengenali antibodi. Jadi kalau seandainya orang yang memiliki antibodi akan terdeteksi di situ reaktif artinya di dalam tubuh orang yang dites reaktif itu terdapat antibodi kalau ada antibodi COVID-19 berarti ada
COVID-19 nya. Kira-kira begitu. 


Nah ada yang nonreaktif kelemahan rapid test, dia tidak bisa mendeteksi orang yang sudah terkena virus dari hari pertama sampai hari keenam karena antibodinya belum keluar. Maka kalau ada yang nonreaktif belum tentu dia itu negatif, bisa saja dia positif tapi belum hari ketujuh sehingga tidak terdeteksi oleh alat rapid test atau dia sudah pernah positif dan kemudian menjadi negatif sehingga rapid test melihatnya menjadi negatif, nonreaktif. Nah ini alat yang baik adalah pemeriksaan lab, swab, air liur yang di hidung maupun di mulut.


Itu namanya PCR, itu dilihat, diperiksa, mengenali virusnya. Dan kita beruntung kita awalnya punya 3, sekarang sudah 230-an lebih.Saya cek di Jayapura sudah ada 6 kalau tidak salah, ini bagus. Tapi saya pengin ada tambahan lagi, di Nabire, besok saya di Freeport saya akan minta. Nabire, kemudian di Sentani dan Keerom. Nah kemudian apakah kalau memang lockdown atau apakah karantina wilayah ini efektif, minimal 2 minggu kalau bisa 3 minggu kalau mau aman lagi satu bulan, tapi ini kenapa nggak dilakukan? Tergantung geografinya, kalau geografinya itu mendukung bisa dilakukan lokalisasi wilayah, itu salah satu faktor, salah satu faktor untuk bisa dilakukan lockdown, contoh misalnya, mohon maaf, Bali. Bali itu ada batas alam cukup nutup bandara, menutup pelabuhan, baik dari Lombok maupun dari Banyuwangi, itu sudah terkunci Bali, setelah itu semua orang. Nah itu.


Bangka Belitung bisa, kemudian di Batam bisa, Morotai bisa, Lombok bisa, di Kepulauan Yapen bisa, tapi kalau daerah seperti Jakarta, Surabaya apakah bisa dilakukan lockdown? Saya bilang tidak bisa, saya sampaikan kepada Gubernur DKI, Pak Anies, nggak bisa, bagaimana caranya mau nutup Jakarta? Jakarta itu dengan kota satelit sekitarnya itu sudah menjadi satu, dia hanya di peta saja ada batas, batas alamnya nggak ada, dengan Depok, Tangerang, Bekasi, nggak ada.

Ini sebelah sini orang ber-KTP DKI, sebelah rumahnya ber-KTP Depok, ber-KTP Bekasi, ber-KTP Tangerang, Tangerang Selatan, Ciputat. Sehingga menutup jalan raya bisa, menutup jalan tol bisa, menutup kereta bisa, kalau menutup yang di tetangga ini perlu puluhan ribu orang.

Surabaya juga sama problemnya sama di situ ada Gresik, Sidoarjo, sudah menjadi satu. Sidorajo sudah menjadi satu dengan tetangganya, Gresik sudah menjadi satu dengan tetangganya, sulit, yang kedua kalau kita melakukan lockdown karena setiap orang harus tinggal di dalam rumah, maka kita harus kuat anggaran untuk memberikan bantuan mendata siapa yang kuat siapa sebulan bertahan di rumah ya lanjut silakan, kalian cukup makan sebulan silakan oke

Yang nggak cukup makan, didata mereka diberikan bantuan... (suara nggak jelas) ...supaya apa? Supaya tadi yang nggak tertular, aman yang dia sudah positif, tertular bila tubuhnya baik dia akan sembuh sehat, yang nggak sehat dibawa ke rumah sakit, yang nggak sembuh dia wafat, kalau udah wafat ya mereka dikuburkan. Yang terbaik, mohon maaf, saya muslim tapi ini teori, yang terbaik dibakar karena virusnya akan mati juga.

Kalau seandainya dimakamkan sesuai dengan cara-cara agama, beberapa agama tertentu ya dia harus dibungkus rapat, rapi, harus rapat. Tidak boleh ada celah virusnya keluar, karena virusnya itu akan bertahan. Dan upayakan di kuburan, di pemakaman yang tidak ada air mengalir, kering. Panas. Nah sehingga virusnya ikut dia.(Detik)

Penjelasan Kemendagri

Kemendagri memberikan penjelasan lebih lanjut soal pernyataan Mendagri Tito Karnavian tersebut.

"Yang dikatakan Pak Menteri, secara teori, baiknya jenazah COVID dibakar agar virusnya juga mati. Namun, bagi yang muslim dan agama lain, ini tidak sesuai akidah, maka penatalaksanaannya dibungkus tanpa celah agar virus tidak keluar (menyebar), kemudian dimakamkan," kata Kapuspen Kemendagri Bahtiar dalam keterangan tertulis, Kamis (23/7/2020).


Bahtiar berharap pernyataan Tito itu tidak menimbulkan Bahtiar berharap pernyataan Tito itu tidak menimbulkan kesalahpahaman. Menurut Bahtiar, pada prinsipnya penanganan jenazah COVID-19 dikembalikan pada protokol kesehatan dan sesuai dengan akidah masing-masing.

Lebih baru Lebih lama